(Me and my friend have 4 chanced to wrote
every
paragraph without planned before to what should we tell and barely know
each other how the ending will be and so lately i have made my first
collab fictive story with @pujatriandi7 !! Enjoy it !)
Pukul 17:07 aku melirik jam digital di tanganku. Ditemani secangkir afogatto di sudut kedai kopi lantai dua. Hari ini, kita sepakat bertemu setelah berbulan-bulan berbincang lewat media sosial. Akhirnya hari yang ku tunggu tiba. Aku ingin melihat rupamu, mendengar tawamu, langsung tanpa perantara. Aku sedikit cemas, apakah kau lupa kalau kita akan bertemu. Sebab, ini sudah lewat sejam dari waktu yang kita sepakati.
Asaku yang nyaris pupus bertemu denganmu, sontak membuat hati ini lega saat tepat bola mataku melihat lekuk kaki yang mendekatiku. Ya, itu kamu. Senyum merekah dan hatiku rasa berhadiah namun ragaku bergetar saat menyalamimu, aku tak tahu pertanda apa. Perbincangan kita tak jauh berbeda dari yang telah kita bahas di sosial media. Sejam berlalu, mataku tak bisa berbohong pada eloknya parasmu. Namun yang ingin kutelusuri sejatinya bagaimana hatimu. Satu jam tak cukup rasanya untuk mengenalmu lebih jauh. Tak cukup sampai di situ, aku pun mengajakmu berpindah suasana, menikmati eloknya senja kota.
Kita keluar dari kedia kopi itu. Aku memintamu duduk di skuter bututku. Syukurlah, kamu tidak keberatan kuboncengi. Hening menengahi perjalanan kita. Aku kikuk seketika, rasanya aku seperti pecundang saja. Mulutku tak bisa mengeluarkan sepata kata pun. Oh Tuhan, aku berharap kita segera bertemu senja.
Sejujurnya aku canggung mengajakmu menikmati senja. Rasanya terlalu dini untuk melihat romansa alam bersamamu. Sampai di bibir pantai aku lemah seolah mati akal ingin bertanya dan bercerita apa. Hatiku semakin bertanya-tanya, tapi ku lihat kau begitu riang sambil menyapa air dengan kakimu. Matahari pergi, kini gelap telah menyelimuti. Kita pun beranjak tapi aku tak tahu ingin membawa kemana dirimu.
Katamu “ajak aku makan soto terlezat di kota ini”. Bola mataku membesar saat mendengar permintaanmu. Ada-ada saja kau ini, tidak bisa ditebak apa maunya. Sialnya, aku tak pernah keberatan memenuhi kemauanmu. Adakah alasan untuk semua ini?
Belum sempat skuterku berhenti, adzan magrin mendayu-dayu memanggil. Saai itu pula dengan spontan kau menepuk pundakku seraya berkata “Udah adzan, kita shalat dulu aja”. Tanpa pikir dua kali, ku belokkan skuter bututku dengan suara khasnya ke mesjid di sebrang kita. Selesai shalat, aku yang lebih awal keluar mencuri-curi pandang saat kau memasang tali sepatu. “Anak yang sholehah”, hatiku berbisik. Kita pun bergegas ke tempat soto yang ku tunjukkan. Perkenalan kita semakin berlanjut dan rasanya tak berujung meski kini giliranku yang semangat bertanya tentangmu. Mungkin karena aku sejuk menatapmu sejak selesai shalat tadi. Malam semakin larut, aku berniat mengantarmu ke rumah, namun ada rasa takut jikalau bertemu kedua orangtuamu.
Aku memberentikan skuter bututku tepat di depan pagar rumahmu. Kau menawariku untuk singgah, tapi aku enggan. Bukan juga apa, segala kemungkinan belum siap untuk ku terima. Walaupun hanya sekedar bersalaman dengan orangtuamu. Apakah aku berpikir terlalu berlebihan? Biarlah, sebab aku pun masih ragu dengan debar di dadaku.
Aku pamit pulang. Aku mengingat kembali hal-hal yang telah kita lalui di waktu yang terbilang singkat sambil berbaring dan tersenyum. Ku simpulkan bahwa aku bahagia, nyaman dan bahkan ingin mengenalmu lebih jauh. Terketuk dalam hatiku untuk memilikimu namun pada sepertiga malam ku tumpahkan semua rasa terima kasihku padaNYA atas pertemuan singkat kita dan memohon petunjuk atas rasa yang kumiliki. Dengan iman dan kemantapan hati, terbersit dalam benakku utnuk menyempurnakan separuh agamaku serta sunnah Rasulullah untuk hidup bersamamu. Esoknya, ku temui kedua orangtuamu dan dengan Bismillah aku siap meminangmu kala itu. Tepat di dua tahun yang lalu. terima kasih untuk pertemuan yang singkat dan telah mau melabuhkan cintamu padamu, hingga kita bersanding berdua.